DPR Begal Konstitusi, Demokrasi, Yang Benar Aja, Rugi Dong!

banner 468x60

Oleh: Harun Gafur
Akademisi dan Pegiat Literasi Teras SAGU

 

(Gantaranews.id) Media sosial tengah diramaikan netizen dengan unggahan lambang burung garuda dengan latar belakang biru. Tidak hanya itu, pada bagian atasnya pun tertulis ‘Peringatan Darurat’. Apa itu artinya.? Poster ‘Peringatan Darurat’ dengan lambang Garuda Pancasila berlatar biru ini mulai menggema di media sosial usai Baleg DPR sepakat mengesahkan RUU Pilkada. Poster ‘Peringatan Darurat’ ini merupakan potongan video yang diunggah akun YouTube EAS Indonesia Concept. EAS Indonesia Concept merupakan sebuah akun YouTube yang membuat video dengan konsep The Emergenct Alert System (EAS) versi Indonesia. EAS sendiri adalah sistem peringatan kedaruratan nasional milik Amerika yang didesain untuk menyebarkan pesan darurat di tengah siaran televisi maupun radio. Dalam unggahan-unggahannya, akun EAS Indonesia Concept menggunakan metode EAS untuk membuat video horor fiktif yang dikenal sebagai analog horor. Mutiara Putri (22/8/2024).
Potongan video tersebut digunakan oleh publik sebagai bentuk perlawanan pada DPR, Bukan tanpa alasan, hal ini karena pihaknya telah menyepakati RUU Pilkada pada Rabu, (21/8/24). Perlawanan ini dilakukan sebagai bentuk akumulasi kemarahan publik lantaran RUU Pilkada yang disepakati oleh Baleg DPR dinilai bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Hal itu lantaran RUU Pilkada tersebut dinilai tidak sepenuhnya mengakomodasi putusan dari MK, termasuk soal batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di Pasal 7. Baleg DPR justru memilih untuk mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) sehingga batas usia calon gubernur ditentukan saat pelantikan calon terpilih. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan putusan MK sebelumnya. Tidak hanya itu, DPR juga menyepakati apabila perubahan syarat ambang batas pencalonan Pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Sementara partai yang mempunyai kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu sebelumnya. (https://www.haibunda.com/moms-life/20240822085506-76-345420/ramai-di-media-sosial-peringatan-darurat-indonesia-ternyata-ini-artinya-bun).

Antara Monarki dan Demokrasi

Bacaan Lainnya

Dari ulasan singat diatas perlu kita pahami lebih jauh dalam bersikap dan berjuang soal harkat dan martabat Negara Republik ini, tentunya dalam Sistem demokrasi demi mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dari segala dimensi berbangsa dan bernegara, sehingga perlu kita ketahui, dulu di zaman kerajaan, kekuasaan tidak diburu, tetapi cukup ditunggu sebagai bentuk sistem kekuasaan Monarki, yang kekuasaanya terletak pada seorang manusia, baik itu raja maupun ratu. Siapa pun putra Raja yang menadapatkan warisan kekuasaan. Anak seorang Raja, tatkalah orang tuanya sudah mangkat, maka salah seorang akan mewarisinya. Sedangkan anak yang lain, diberi posisi penting lainnya. Lewat sistem itu, mereka yang bukan tergolong anak Raja, misalnya hanya sekedar anak petani, pedagang di pasar, nelayan yang penghasilannya tidak menentu, apalagi pengangguran, sekalipun berpendidikan, tidak akan mungkin meraih derajat itu.
Berbeda dengan zaman feodal adalah saat orang percaya pada sistem demokrasi, sebagai sistem kekuasaan terletak pada rakyat yang dilaksanakan melalui pemilihan umum di era reformasi saat ini untuk memilih wakil rakyat, seperti akhir-akhir ini. Siapapun bisa menjadi bupati, walikota, gubernur, anggato DPRD, DPR, dan bahkan Presiden. Semua jabatan yang harus diperoleh lewat pemilihan, dengan melibatkan rakyat, maka siapapun berpeluang untuk meraihnya. Siapapun orangnya boleh mencalonkan diri asal mau, memenuhi syarat, berani, dan merasa mampuh. Orang yang semula aktif sebagai pedagang, pengusaha, tentara, pejabat politik, PNS, bahkan pengangguran sekalipun, asal yang bersangkutan dikenal atau mampuh mengenalkan diri kepada masyarakat dan memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam konstitusi dan sebenarnya tidak terlalu sulit dipenuhi, maka boleh ikut berkompetensi memperebutkan kursi kekuasaan, karena itu, akhir-akhir ini ada saja orang yang semula bekerja sebagai pedagang, petani, dokter, kepala sekolah, guru, juga kiayi terpilih menjadi pejabat publik.
Sejatinya penulis ingin ingatkan dan tekankan kepada kita semua yang mengaku berwarganegara Indonesia saat ini, Lewat demokrasi, posisi atau peran seseorang bisa berubah dengan cepat seseorang yang semula di kenal sebagai pengusaha atau apapun itu berali menjadi aktivis politik, dan akhirnya menjadi bupati, walikota, anggota DPRD, Gubernur, dan juga yang mencalonkan diri menjadi presiden. Pejabat politik lainnya yang tidak di monopoli dan melakukan monopoli oleh keluarga tertentu, kelompok tertentu, aliran tertentu, dan juga latar belakang sosial tertentu. Inilah hakikat demokrasi yang adil dan beradab dan menjunjung tinggi ideologi dan konstitusi Negara. Sehingga hal itu jangan di bolak-balikkan fakta dan esensi system Negara yang telah dirintis oleh pejuang kita selama ini.
Dagang Demokrasi, Yang Benar Aja, rugi dong..!
Cukup kerugian di alami oleh rakyat, mereka diberi janji-janji indah yang kadang berlebihan. Seseorang yang sebenarnya belum banyak berbuat untuk rakyat, sehingga belum dikenal secara luas, tetapi ingin menjadi pejabat politik. Agar terpilih, mereka mengiklankan diri di media sosial. Spanduk dan baliho besar para calon pejabat politik dengan berbagai ukuran yang bertebaran di tempat-tempat strategis hingga menjadi totonan dan mencuri simpati masyarkat, jangan lagi mengotak-atik pondasi dan konstitusi Negara yang telah menjadi arah dan pedoman para semua kalangan. Sehingga tidak sekedar itu, fenomena yang semestinya tidak harus dipertunjukkan oleh pemimpin dan para wakil rakyat negeri ini sebagai teladanan dan negawaran sejati ternyata masih menghianati rakyatnya sediri demi kekuasaan sesaat, dari sinilah rakyat mengambil pelajaran bahwa jabatan ternyata bukan pengabdian, melainkan media untuk mendapatkan keuntungan dan melenggangkan kekuasan. Pesta demokrasi dimaknai sebagaimana pesta pada umumnya. Siapapun yang terlibat pesta juga harus mendapat sesuatu. Maka muncullah pameo, siapa yang berani membayar mahal, merekalah yang akan dipilih.
Cara berpikir demikian itu menjadikan demokrasi salah arah. Rakyat digiring tidak memilih calon pemimpin kompeten, berpengalaman, mampuh memimpin dan menyejahterakan rakyat, melainkan sekedar diajak untuk mengikuti siapa yang memberi sesuatu paling menguntungkan. Terjadilah praktek-praktek jual beli suara, money politik, suasana serba transaksionaal, dan efek negatif lainnya. Berbagai bentrok terkait dengan pilkada terjadi dibeberapa tempat dan kasus-kasus korupsi sebenarnya berawal dari praktek-praktek demokrasi yang tidak pada tempatnya itu.
Akhrinya Pemilihan pejabat politik yang berbiaya tinggi seperti itu ternyata membuahkan resiko negatif lainnya. Misalnya, partisipasi masyarakat terhadap pembangunan diberbagai level melemah, kehidupan sosial di warnai transaksi untuk memburu keuntungannya sendiri-sendiri, kepercayaan masyarakat melemah, dan bahkan kewibawaan pemerintah terdegradasi. Dulu kewibawaan para pejabat politik atau pemerintah sedemikiaan terasa. Namun pada akhir-akhir ini, taklah banyak orang berebut kursih kekuasaan, maka kewibawaan pejabat politik di hadapan rakyat menjadi semakin hilang. Karena sudah diperebutkan atau dijual belikan, maka jabatan dan kekuasaan tidak ubahnya barang dagagangan di pasar. Tidak pernah ada kewibawaan di tengah pasar atau di tempat-tempat orang bertransaksi. Sesuatu yang bernilai tinggi di pasar bukan orang, melainkan barang dan uang. Seperti itulah tatkalah kondisi jabatan dan kekuasaan jika sudah dipasarkan dan di perebutkan. Kewibawaan pejabatnya juga semakin runtuh.
Titik Balik Politik Nasional
Banyak orang berkumpul dan menyatuh tatkala memiliki kepentingan yang sama. Begitu pula berpisah dianggap menjadi hal biasa tatkala kepentingan itu dirasa sudah tidak ada lagi. Bahkan dalam berpolitik ternyata lebih tragis lagi, kawan bisa saja berubah menjadi musuh dan sebaliknya, musuh bisa menjadi kawan. Dalam berpolitik, ikatan itu hanyalah pada kepentingan belaka. Sebenarnya, perkawanan dalam partai politik tidak saja diikat oleh kepentingan, tetapi juga oleh ideologi hingga melahirkan sikap militan. Sementara pada saat sekarang ini, banyak kader partai politik bahkan Kepala Daerah, dan DPR sejatinya sebagai wakil para rakyat masih melakukan penyimpangan hingga harus dikeluarkan dan bahkan dipenjarakan. Itu semua adalah pertanda bahwa partai politik yang bersangkutan itu masih belum berhasil membangun ideologi yang jelas dan kokoh. Mereka masuk menjadi kader partai politik bukan karena panggilan cita-cita perjuangan yang jelas, melainkan hanya atas dasar kepentingan praktis dan pragmmatis belaka. Dalam suasana budaya transaksional seperti ini, suasana organisasi, apalagi partai politik akan rentan konflik. Saling berebut adalah menjadi hal biasa. Perebutan itu bukan atas dasar ideologi yang seharusnya diperjuangkan, melainkan di dorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan praktis. Berawal dari sinilah sebenarnya partai politik menjadi rentan konflik dan menjadi ajang perebutan sesuatu yang sebenarnya diluar kepentingan partai politik dan kepentinga rakyat sebagi pemilik kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan demokrasi. Maka, agar organisasi atau partai berdiri tegak dan kokoh, yang pertama kali harus dilakukan secara terus-menerus adalah meneguhkan cita-cita atau ideologi partai politik sesuai amanat ideologi Negara dan Konstitusi Negara sebagai manivestasi berbangsa dan bernegara sebagai cita-cita tertinggih. Jika hal demikian itu bisa terlaksana, niscaya pertemanan dalam partai politik bisa terus bertahan, dan juga tidak terbatas dan sebatas kepentingan praktis dan pragmatis belaka, namun itu semua demi cita-cita luhur negara***

Pos terkait