Jakarta, Gantaranews.id – Ada yang menarik dari judul artikel “What is Jokowi’s political gameplan after saying he ‘fully supports’ party chaired by son?”, ditulis oleh Denny Armandhanu, terbit di website Channel News Asia (CNA) pada 22 July 2025. Apa “rencana permainan” politik Jokowi setelah menyatakan “mendukung penuh” partai yang diketuai putranya?
Mantan Presiden Jokowi telah menyatakan dukungan penuh (full support) dan akan bekerja keras untuk membesarkan PSI yang diketuai oleh putra bungsunya, Kaesang Pangarep. Ia terpilih kembali dalam Pemilu Raya yang diselenggarakan secara e-vote dimana setiap anggota yang telah diverifikasi berhak memilih (one man one vote) lewat proses yang transparan di atas platform teknologi.
Namun banyak diantara pengamat politik tetap mempertanyakan pergerakan politik Jokowi ini. Para analis mengatakan bahwa dengan memberikan dukungannya kepada PSI, publik tentu mengharapkan Jokowi bisa membantu PSI meraih hasil yang jauh lebih baik dalam pemilihan umum 2029 nanti.
Kinerja PSI yang walau terus meningkat dari 1,89 persen di tahun 2019 naik menjadi 2,8 persen di tahun 2024, artinya terus meningkat dibanding beberapa parpol lain yang trend-nya justru menurun. Namun demikian tetaplah belum bisa membawa PSI masuk perlemen. Ambang batas parlemen adalah 4 persen.
Menurut beberapa analis, keterlibatan Jokowi di PSI masih belum jelas dan jauh dari pasti, mengingat Jokowi bahkan bukan anggota PSI dan tidak memiliki peran kepemimpinan formal. Bahkan ada yang mengatakan bahwa mungkin saja Jokowi sedang mengincar posisi di partai lain yang lebih besar. Ini pandangan yang menarik dari sementara kalangan.
Dalam pidato kebangsaannya di Kongres PSI di Solo, Jokowi minta agar kader PSI mesti juga bekerja keras menyiapkan mesin partai. Menyelesaikan struktur organisasi di setiap daerah, demi menyerap aspirasi rakyat di seluruh Indonesia. Mesin partai (organisasi sampai ke anak ranting di seluruh pelosok negeri) harus siap.
Jokowi menegaskan bahwa masuk ke Senayan (DPR RI) bukanlah target PSI, karena masuk ke Senayan adalah keharusan. Dukungan penuh Jokowi berbentuk kerja keras. Bisa di depan, bisa dari belakang, atau bisa juga berada di tengah-tengah. Ini seperti wejangan Ki Hadjar Dewantara yang bilang “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Menurut beberapa pengamat, bentuk dukungan Jokowi lebih sebagai patron partai ketimbang ‘formal leadership’, ia mendampingi putranya Kaesang. Seperti pendapat Prof. Ambang Priyonggo yang mengatkan bahwa kelemahan PSI selama ini adalah tidak adanya figur yang jadi patron partai. Jokowi dapat mempengaruhi persepsi publik, ia akan mendukung PSI dari belakang layar.
Sementara pemerhati politik Agung Baskoro dari Trias Politika mengatakan pola hubungan Jokowi dengan PSI adalah saling menguntungkan, dimana PSI membutuhkan figur seperti Jokowi, dan sebaliknya Jokowi membutuhkan kendaraan politik demi melindungi keluarganya dari serangan-serangan politik. Disamping tentu demi melindungi legacy dan pengaruhnya.
Pengamat komunikasi politik dari KedaiKopi, Hendri Satrio mencatat bahwa Jokowi sekarang memikul tanggungjawab besar untuk menaikan reputasi PSI. Dan untuk itu ia harus bertindak “all out”, karena kebangkitan PSI juga akan memulihkan citra dirinya. Kalau PSI jatuh, yang malu Jokowi, beban penggalangan dukungan pemilih beralih kepada keluarga Jokowi.
Pendapat Prof. Ambang Priyonggo dari Universitas Multi Media Nusantara yang menarik, di tengah tanda-tanda pengaruh yang memudar, apa sih yang melatarbelakangi keputusan Jokowi untuk tidak mencalonkan diri sebagai ketua umum partai yang diketuai putranya?
Menurutnya kemungkinan besar Jokowi tidak bergabung dengan PSI sebagai pemimpin atau anggota karena ia menganggap statusnya lebih tinggi daripada partai. Orang sekaliber Jokowi adalah terlalu besar untuk PSI. Adapun pernyataan dukungannya terhadap PSI tidaklah menghalanginya untuk nantinya resmi bergabung dengan partai yang lebih mapan dibanding PSI, dengan Golkar misalnya.
Sementara itu, Made Supriatma, seorang peneliti tamu di ISEAS–Yusof Ishak Institute Singapura, meyakini bahwa Jokowi ingin bersekutu dengan partai lain di luar PSI, ia menyebut Golkar adalah sasaran utamanya. Karena PSI memiliki keterbatasan, dimana PSI dijalankan oleh generasi muda Gen Z dengan pengalaman minim dan tanpa basis akar rumput. Menurut Made Supriatma, politisi PSI bukanlah dari kalangan yang terbiasa dengan manuver-manuver politik, tidak seperti Golkar yang jauh lebih berpengalaman.
Golkar sendiri merupakan bagian dari dua pemerintahan Jokowi saat ia menjabat sebagai presiden dan secara konsisten mendukung kebijakannya. Spekulasi tentang bergabungnya Jokowi ke Golkar telah beredar sejak tahun lalu, meskipun belum terealisasi.
Indikasi yang patut dicermati adalah pengunduran diri ketuanya, Airlangga Hartarto, pada Agustus 2024, dimana kemudian Golkar menunjuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, yang jelas-jelas sekutu kunci Jokowi, sebagai ketuanya. Akhirnya Made Supriatma mengatakan bahwa Golkar, yang didirikan pada tahun 1960-an di era Orde Baru, bisa dibilang merupakan partai yang paling cocok untuk Jokowi.
Namun, ia menambahkan bahwa langkah tersebut tidak akan mudah mengingat pengaruh politik Jokowi yang semakin memudar dan adanya pandangan sebagian kalangan di internal Golkar yang menganggapnya tidak pernah berkontribusi dalam membangun partai. Prof. Ambang Priambogo juga menyoroti adanya friksi atau perpecahan internal di Golkar antara fraksi yang mendukung Jokowi dan fraksi yang menentangnya. Ini juga mesti dicermati.
Penyataan Jokowi yang mendukung penuh dan bekerja keras untuk PSI memang patut diapresiasi oleh para kader PSI. Tapi pandangan para pangamat melalui media asing tentang kemungkinan Jokowi malah bisa bergabung ke partai lain (Golkar) bukanlah sesuatu hal yang mustahil.
Bobby Nasution di Gerindra, Kaesang Pangarep (dibantu Jokowi) di PSI, dan figur Jokowi yang bisa tampil di mana saja, bisa di PSI dan Golkar, dimana mereka akan terus berkolaborasi dengan PAN, Demokrat, Nasdem, PKB, PKS.
Sementara Partai Gelora, PBB, Buruh, Prima, Garuda tidak akan berada jauh dari kekuasaan. Sedangan PDIP, PPP, Hanura dan Perindo akan dijaga terus agar tidak jauh (namun juga tidak dekat) dari figur Prabowo Subianto yang selalu siap menerima mereka dengan tangan terbuka. Mau masuk koalisi silahkan, atau memilih jadi mitra strategis juga silahkan.
Perhitungan atau kalkulasi politik itu memang tidak statis, akan selalu dinamis. Yang jelas keberlanjutannya pembangunan (developmantalisme) Jokowi harus berjalan terus. Tidak ada fanatisme terhadap alat politik (terhadap partai misalnya) yang bisa menghalangi perwujudan VIE 2045 Jokowi.
Seperti kata Deng Xiaoping dulu, tidak peduli kucing warnanya hitam atau putih, yang penting bisa tangkap tikus. Tekad bersama kita adalah menjadikan Indonesia Maju, dimana Masyarakatnya Adil Makmur dan Sejahtera.(Red)
Jakarta, Jumat 25 Juli 2025
Andre Vincent Wenas*,MM,MBA., Pemerhati Ekonomi Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta